Greetings

Hello. My name is Tchi and this blog’s mine. I don’t write my own story here. I write about my RPG characters and Binjai Kingdom’s funny stories. Click here to read ‘my real stories’.

RPG Characters

RPG Characters

Friday, August 27, 2010

Mantra 6, 89-90

Kira-kira siapa yang bisa menjelaskan penyebab mengapa Yang Terhormat Profesor Flitwick mendadak jadi kelebihan kadar percaya diri hari itu? Reon memelototi benda dihadapannya tak percaya. Betapa narsisnya menjadikan miniatur diri sendiri sebagai objek mantra! Gadis itu meletakkan tongkat yang tadinya sudah berada di genggamannya kembali ke meja, kemudian bersedekap, mendengus seraya mengamati miniatur itu dari segala sisi.

[i]Well[/i], miniaturnya dibuat dengan ukuran standar miniatur-miniatur penyihir yang Reon lihat banyak dijual di etalase toko-toko di Diagon Alley musim panas lalu. Seharusnya [i]lebih kecil[/i], kalau dibandingkan dengan sosok aslinya. Reon menekan ujung dagu dengan jari telunjuk, berharap ia bisa menggandakan benda itu dengan sempurna; tanpa tambahan atau pelenyapan aneh-aneh seperti yang sering terjadi saat ia melakukan Transfigurasi.

Tapi ini kelas Mantra, bukan Transfigurasi. Reon mengembuskan napas. Meraih tongkatnya.

[i]Ini menggelikan[/i], pikirnya. Kalau sudah berhasil menggandakan miniatur itu, ia jelas tak akan mau menyimpan kloningannya. Satu-satunya jalan agar patung mungil itu tidak masuk ke kotak sampah adalah dengan menjadikannya mainan bagi kucingnya. Semoga saja kucingnya mau. Kalau tidak, terpaksa Reon memodifikasi miniatur sang Profesor menjadi sedikit mirip ‘tikus’.

Hah. Nona tidak-suka-bercanda itu bisa merencanakan kejahilan juga, rupanya. Sungguh merupakan karunia dewa. Sekarang pemilik rambut hitam sepinggang itu bersiap. Tongkat berinti sayap doxy-nya teracung tepat ke bagian wajah si patung, dan ia mendesis.

“Geminio!”

Lalu menunggu apa yang terjadi.

Wednesday, August 25, 2010

Koridor dan Tangga, "The Meaning of LOLWOOT" 2

Reon mengernyitkan dahi, respon ketika melihat si bocah Gryffindor yang barusan terjatuh itu langsung lengser ke lantai--untuk kedua kalinya--dengan mata tertutup. Apa yang sudah diberikan anak Slytherin itu? Racun? Sepertinya bukan; para ular memang kejam tapi tidak bodoh. Memangnya anak itu mau ditendang dari Hogwarts? Ia yakin tidak. Ramuan itu mirip Tegukan Hidup Bagai Mati yang kemarin dulu dibuatnya, tetapi warnanya berbeda... ramuan tidur standar, barangkali.

Baiklah, anak itu memang Slytherin. Ramuan itu sudah berhasil disusupkannya ke Hogwarts tanpa ketahuan Filch. Reon mengamati apa yang selanjutnya dilakukan gadis itu sambil mengatupkan mulut. Junior tersebut mengeluarkan gunting, lalu...

what the...? Nona berambut hitam itu mendengus tak percaya. Gadis itu menggunting rambut temannya sendiri. Betapa ceroboh! Meskipun sekarang sedang tidak banyak orang, tapi koridor lantai dasar termasuk sering dilewati; baik oleh guru maupun murid. Kalau sampai anak ini-dan-seorang-temannya-entah-siapa ketahuan, bisa berakibat detensi dan pengurangan poin asrama. Reon tidak peduli kalau bocah itu didetensi, tapi kalau poin asrama mereka yang sudah hancur dikurangi... para prefek Slytherin bisa digantung lagi.

Well, kalau pacarnya bukan salah satu dari para prefek itu, ia juga takkan peduli.

"Senior mau berdiri begitu saja seperti Hufflepuff dan Gryffindor tak berguna itu, atau membantuku melakukan pertunjukkan ini?"

Gadis enam belas tahun itu terpaku beberapa detik. Pertanyaan itu bernada menantang. Dan menggoda. Sangat menggoda. Reon jarang mendapat kesempatan untuk berbuat kegilaan semacam itu; sepasang matanya sudah berkilat penuh semangat. Ia sudah menatap gunting yang dikeluarkan si junior dengan penuh hasrat ketika teringat wibawanya sebagai senior. Seketika di benaknya terbayang adegan dia membersihkan toilet dengan cara Muggle bersama bocah-bocah dihadapannya itu. Enak saja. Ia tak mau terlihat seperti induk ayam di antara anak-anak ingusan.

Tapi menghentikan kegiatan dua bocah di depannya itu? Bukan pilihan yang menarik. Lagipula ini kan bukan urusannya, kenapa ia tiba-tiba jadi terlibat? Reon mengeluarkan sehelai sapu tangan hitam dari saku jubahnya, kemudian dengan hati-hati mengambil gunting karatan di lantai, berupaya agar sidik jarinya sendiri tidak menempel. Kemudian didekatinya junior yang tertidur itu, diletakkannya gunting tersebut tepat di telapak tangannya, menimbulkan kesan seolah-olah gadis itu tertidur sambil memegang gunting.

"Sleep well, dear." ucapnya tanpa suara. Lalu ia berpaling pada anak-anak yang ada di sana.

"Lain kali, pastikan kalian sudah membuat rencana yang matang sebelum bersenang-senang." ujarnya, sepasang mata onyx-nya tertuju pada si Slytherin muda. "Di sini terlalu ramai. Kelas kosong dan toilet rusak di lantai dua adalah tempat yang lebih baik. Kalian--" ia melirik sekilas pada si anak Gryffindor yang tertidur, "akan lebih leluasa."

Setelah itu Reon berbalik, dan pergi menjauhi koridor, menuju tangga turun untuk kembali ke asramanya di bawah tanah. Senyum geli merekah di wajahnya, meski tak seorang pun mengetahuinya.

Monday, August 23, 2010

Koridor dan Tangga, "The Meaning of LOLWOOT"

Reon berjalan lambat-lambat keluar dari kelas Transfigurasi. Memikirkan apa kesalahannya sehingga transfigurasi terakhir yang dilakukannya sama sekali melenceng dari apa yang diajarkan, membuka kesempatan lebar-lebar bagi Profesor McGonagall menyuapinya dengan nilai Troll. Sial, umpat gadis itu seraya mempererat pegangannya pada buku-buku yang dipeluknya di depan dada. Ia sedang tidak berminat didetensi--tidak kalau kegiatan satu itu menyerobot jam makan malamnya. Atau jam mengobrolnya dengan si mata platina.

Gadis itu berbelok dan memasuki ujung koridor lantai dasar untuk mengakses jalan menuju asramanya di bawah tanah sana. Ia tidak menoleh sama sekali meskipun model-model lukisan di dinding sibuk berceloteh bahkan memanggilnya 'woi'. Kalau kau murid kelas satu dan kelahiran Muggle, mungkin kau bahkan akan berhenti dengan mulut ternganga melihat lukisan-lukisan hidup itu. Tapi mungkin juga tidak. Evenna Vareon--sayangnya--kelahiran Muggle dan saat kelas satu ia bahkan tidak tertarik melirik pajangan apapun di kastil tua itu. Memang sudah sifatnya.

"--aaaaaa! Nona, kau tak apa-apa?"

Refleks manik hitam ular betina itu melirik. Mendelik, tepatnya. Ia memiliki ketidaksukaan pribadi terhadap kebisingan. Gadis itu menjunjung falsafah 'diam itu surga, diam-diaman baru neraka'. Tanpa makan waktu ia menemukan sosok bocah laki-laki berambut sehitam miliknya tampak agak panik, ujung bajunya sobek, sementara di kakinya seorang gadis kecil berbaring tengkurap seraya meringis. Junior lain membantunya berdiri--yang terakhir disebut ini sepertinya pernah dilihatnya di ruang rekreasi Slytherin.

"Coba minum ini Ashlee, ini ramuan penghilang encok, aku mendapat ini salah seorang Senior seusai pertandingan tim quidditch kemarin."

Oh, murah hati sekali.

Reon memutar bola mata. Sejak kapan generasi Slytherin jadi seperti itu? Pantas saja para prefek ramai-ramai dihukum Profesor Snape. Mereka sama sekali tidak menanamkan sifat murni Slytherin di otak para bocah.

"Hei," panggilnya seraya mendekati si junior yang berambut coklat gelap. "kau. Slytherin, kan?"

Ngomong-ngomong, wajah gadis itu mengingatkan Reon pada Domi.