Greetings

Hello. My name is Tchi and this blog’s mine. I don’t write my own story here. I write about my RPG characters and Binjai Kingdom’s funny stories. Click here to read ‘my real stories’.

RPG Characters

RPG Characters

Thursday, May 13, 2010

Charmes 1, 2001

Hati-hati, turun ke lantai tiga.
Hari ini, ayo kita belajar mantra!

Er, kalau mau tahu, itu bukan dendang sumbang belaka, melainkan sebuah karmina. Namun tak perlu diambil heran, memang gadis belia bernama Carmélle Ghyslain itu tak begitu berbakat dalam subjek perpantunan. Dua baris kalimat yang terpikir dalam benaknya barusan hanyalah wujud dari keantusiasannya sebagai murid tahun pertama. Wajar, anggap saja begitu. Tapi dia tidak seperti anak-anak norak yang bersikap heboh seperti terbelalak melihat kastil atau melongo membaca buku-buku sihir, lho. Gadis dua belas tahun itu pandai menyembunyikan rasa terkejut maupun kagumnya. Sejauh ini ia bisa bersikap seolah-olah sudah biasa tinggal di kastil Beauxbatons, meskipun saat di tempat tidur ia masih suka senyum sendiri.

Euforia anak kelas satu. Masa tidak tahu, sih. Penyihir cilik manapun pasti pernah merasakannya. Carmélle toh sama saja seperti kebanyakan anak lainnya, meskipun besar di keluarga bangsawan terhormat lagi terkenal di Prancis serta Belanda. Langkah kakinya yang terlatih mengayun indah bak balerina berkat kebiasaan bertahun-tahun yang dilakoninya bersama sang ibu, memasuki sebuah ruangan bertitel kelas di lantai tiga. Menenteng tas kulit lembunya di tangan kiri, tongkat di tangan kanan. Seperti biasa. Memilih—tepatnya mencari—meja yang masih kosong, setelah menemukannya lima detik kemudian, meletakkan tasnya di permukaan meja bertekstur halus beraroma khas kayu (jangan tanya kenapa Carmélle tahu aroma kayu) kemudian menarik kursi untuk duduk. Sepasang mata coklat terangnya fokus pada sosok guru di depan kelas, yang mengenalkan diri sebagai Arnett Exelle Asthore.

“Well, kita mulai pelajaran mantra hari ini. Saya paling tak suka berbasa-basi.”

Carmélle langsung berusaha menyembunyikan senyum gelinya mendengar kata-kata sang ahli mantra. Guru itu lucu. Tidak suka berbasa-basi, tapi ia mengatakan bahwa ia tidak suka berbasa-basi, padahal apa yang dikatakannya itu termasuk basa-basi, kan? Hah. Ribet. Otaknya kembali memerhatikan sang guru yang menuliskan sesuatu di papan tulis dengan sekali lambaian tongkat. Wingardium Leviosa. Mantra yang sering digunakan oleh ayah dan ibunya, terutama untuk mengangkat barang-barang berbahaya yang hendak dimainkan oleh adik kecilnya, dulu. Sekarang untunglah sang adik sudah bisa membedakan mana bolu mana spons pembersih piring.

Setelah merasa sudah memahami penjelasan Monsieur Asthore, gadis berambut coklat bergelombang itu mengarahkan tongkat berinti akar Tentakulanya ke sehelai bulu di atas meja. Ayunan, sentakan, ditambah konsentrasi. Dengan gaya anggun, ia berseru, “Wingardium Leviosa!”

Satu detik… dua detik… dan bulunya melayang! Gadis pecinta cat kuku itu hampir saja berteriak girang karenanya. Diangkatnya tongkatnya sembari tetap berkonsentrasi, lebih ke atas… ke atas… bulu itu pun terangkat satu meter di atas permukaan meja. Tanpa bisa dicegah ia pun berkata, “Berhasil!”

Lalu, plup… bulunya terjatuh. Tapi bukan ke meja, melainkan tersangkut di helaian rambut merah muda seorang gadis mungil yang duduk di depannya, tepat di puncak kepala. Carmélle mencelos. Itulah akibatnya kalau sok aksi, makinya pada diri sendiri. Berdehem pelan, disentuhnya bahu gadis itu dan berkata, “Maaf, bulu punyaku tersangkut di rambutmu.”

Jangan tersinggung, please.

0 comments: