Greetings

Hello. My name is Tchi and this blog’s mine. I don’t write my own story here. I write about my RPG characters and Binjai Kingdom’s funny stories. Click here to read ‘my real stories’.

RPG Characters

RPG Characters

Tuesday, July 13, 2010

Kelas Kosong, "Harmonious" 2, 88-89

Sakit ini harus diakhiri. Tapi kalau semua ini akan berakhir, aku tahu rasanya malah akan bertambah sakit. Maka semakin tersia-sialah kehidupan buanganku, merundung di bawah ketiadaan harapan yang sejati. Tak lagi berpegang pada horizon itu, melepas--atau dilepas?--dari tuntunan; tuntunan untuk menggapai seberkas jingga sebelum kembali pada kungkungan malam.

Evenna Vareon belum beranjak dari posisi terakhirnya; meski kebas telah menggigiti jari-jarinya yang bertaut. Matanya terasa berat. Berat dan panas; rasanya menjelajar hingga ke kepala, menimbulkan efek berdenyut di tiap lima puluh helai rambutnya. Reon tidak mau membuka kelopak matanya, tahu takkan menemukan barang secuil perbedaan. Gelap, semua.

Sebuah suara bernada santai memaksakan refleksinya. Dara Slytherin itu mendongakkan wajah, menatap kegelapan yang baru saja menghembuskan sebuah suara. Suara itu begitu jelas terdengar, seakan diucapkan tepat di telinga. Mungkin itu perwujudan mimpi. Mungkin ia harus kembali ke asrama secepatnya, agar tidak jatuh tertidur di kelas itu dan ditemukan Filch esok pagi. Gadis bermata hitam itu hampir yakin Filch selalu siap dengan rantai baja tergenggam di tangan, baru mau menyerahkannya kepada guru berwenang apabila sebelumnya sudah menawan Reon di ruang baunya seharian. Bodoh. Pikiran konyol serta berlebihan--

...dan tidak beralasan. Ia tidak mengantuk, tidak mengkhayal, karena memang kenyataannya suara itu berasal dari sosok solid; wajah berseringai familiar muncul mendadak di bawah sedikit terang yang terpancar dari ujung tongkat. Gadis itu terkesiap, melewatkan satu degup jantungnya. Keterkejutan beriak dalam sepasang iris sewarna serpih arang itu. Bagaimana bisa pemuda itu bisa ada di sini? Mengucapkan kata-kata padanya tanpa kecanggungan apapun? Setelah semua ketidakhadirannya... bagaimana, bagaimana?

Reon tidak menjawab pertanyaan Zodriachre karena benaknya lebih dulu membuahkan pertanyaan. Tepatnya serbuan pertanyaan. Pemuda itu tidak terdengar cuek, atau kasar, intonasinya tidak menaik. Hanya satu kesimpulan; ia tidak marah. Tapi kalau begitu mengapa ia tidak menemuiku hingga hari ini? Kenapa baru sekarang? Tujuh hari itu terlalu lama, nona muda itu menggigit bibir bawahnya, lalu mendesah. setidaknya bagiku.

Dan darimana ia tahu Reon ada di ruangan ini? Apakah pemuda tanggung itu mengikutinya? Tapi ia sudah meninggalkan Aula Besar cukup lama. Kecuali jika...

sedikit kilau lencana P yang mengejek memberi petunjuk. Oh, ya. Zod sekarang Prefek. Sebagai ketua asrama ia pastilah bersikap dingin, namun diharuskan bertanggung jawab, sehingga tentu saja ia melakukan semua pekerjaan tak bermanfaat semacam patroli itu. Membuat pemudanya sibuk. Tatapan heran Reon digantikan desis benci ketika semua pemahaman ini merayapi otaknya, dan ia mengerling sekilas pada lencana satu abjad itu. Perlu pengendalian diri yang hebat untuk tidak membiarkan kegilaannya terpuaskan, atau dengan kata lain ia hampir saja merenggut lencana itu dari jubah Zod, menginjak-injaknya sampai hancur, membuangnya ke kotak sampah, membakar kotak sampah itu, dan membuang sisa abunya ke Danau Hitam, memohon agar para Kappa menelannya.

Reon bukan iri, bukannya ia iri karena Zod menjadi Prefek sementara ia tidak. Nona itu tahu ia tak menginginkan kekuasaan-kekuasaan abstrak. Tapi status baru itu telah merenggut waktu luang seseorang miliknya, dan lencana P sialan itu selalu bisa berada dekat dengan Zod; tersemat sepanjang hari di jubahnya, sementara ia sendiri hanya dapat memerhatikan. Dari jauh. Maka bukankah hal itu menjadi alasan masuk akal bagi kecemburuannya?

Atau bisa jadi Miss Echoskee ini sudah gila karena merasa cemburu pada benda mati dan pangkat semu. Gadis dengan rambut hitam yang tergerai lembut di depan bahu itu menghela napas, tahu sedari tadi ia sudah bersikap canggung. Tangannya yang tadi mengepal di kedua sisi tubuh kini rileks, terlipat di depan dada. Ia tahu keheningan sudah mengambil alih suasana cukup lama, tapi ia masih ingin menjawab pertanyaan Zod.

"Tidak." Gelengnya, membiarkan angin mengantarkan kata-katanya. "Itu rahasiaku." Bisiknya. Itulah jawaban untuk dua pertanyaan yang diajukan pemuda itu.

0 comments: