Greetings

Hello. My name is Tchi and this blog’s mine. I don’t write my own story here. I write about my RPG characters and Binjai Kingdom’s funny stories. Click here to read ‘my real stories’.

RPG Characters

RPG Characters

Tuesday, July 13, 2010

Kelas Kosong, "Harmonious", 88-89

Timeline: 7 September 1988 (satu minggu setelah Pesta Awal Tahun), sesudah makan malam


Reon keluar dari Aula Besar lebih awal, meninggalkan kerumunan orang-orang yang sedang santap malam di belakang punggungnya. Ia tidak makan, bahkan piringnya saja tidak ia sentuh. Bagaimana bisa ia makan jika ekor matanya terus-menerus tertarik pada seseorang... yang tidak memberikan reaksi apa-apa. Sepertinya pemuda itu bahkan tak sadar ada orang yang memerhatikannya. Bukan cuma malam itu, tahu, tapi tiap detik sejak gadis bersuara bening itu menemukan wajah familiarnya--dalam artian dingin seperti biasa--di kereta.

Dara kelahiran Muggle itu tak ingin kembali ke asrama. Ia perlu sesuatu yang lebih menenangkan daripada ruang lembap di bawah tanah berpelitur hijau pekat. Maka alih-alih mencari undakan tangga untuk turun, ia justru menaiki tangga yang membawanya ke lantai-lantai atas kastil. Obor-obor di kiri-kanan lorong memberikan sedikit tuntunan baginya tanpa perlu acungan tongkat berujung cahaya. Lukisan-lukisan manusia--kebanyakan mantan penyihir kaliber--menguntit pergerakan kakinya, menggumamkan kata-kata entah apa; mungkin mengobrol dengan sesama penghuni lukisan. Reon melewati semua itu, pikirannya begitu terfokus ingin menuju ke suatu tempat. Tempat dimana aku bisa... gadis itu mengernyitkan dahi, kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk mengakhiri kalimatnya. Sesungguhnya ia bahkan tak tahu apa yang benar-benar hendak ia lakukan.

Semakin lama ia berjalan, semakin sedikit obor-obor berkain api menyertainya. Begitu pula ketika akhirnya langkah-langkah heningnya memberi napas di depan suatu ruangan gelap. Well, memang apa yang bisa ia harapkan dari sebuah kelas kosong? Bintang-bintang di dinding serta bulan di langit-langitnya? Hah, gadis itu nyaris mendengus, kemudian membuka pintu kelas. Ia bukanlah gadis centil takut gelap; ada maupun tanpa tongkat, suasana gelap sudah seperti teman baginya. Matanya pun dengan cepat menyesuaikan diri. Di seberang kanannya, meja dan kursi berdiri, kusam namun kokoh, sementara lemari tua bersandar pada dinding di belakangnya. Di hadapan Reon sendiri, berbaris rapi meja kursi untuk para murid. Di belakang kelas, jendela bertirai kelabu menutupi pemandangan luar kastil. Gadis berambut hitam itu mendekatinya, menyibakkan tirai perlahan, menatap apapun yang bisa ditangkap pengelihatannya di balik jendela. Gelap. Semuanya hitam.

Sang gadis Slytherin menggigit bibir, lalu mengeluarkan sebuah benda dari balik saku jubahnya. Sebuah flute seukuran tongkat, mengilap. Jari-jarinya dengan gesit merengkuh lubang-lubangnya, ujung flute ditekan ke mulutnya. Tidak ada orang yang akan datang ke kelas kosong seperti ini. Aku bebas. Gadis itu mulai meniup alat musik kesayangannya, membunyikan serangkaian nada indah ciptaannya sendiri. Hasil tumpahan semua pikirannya. Semua gundah gulananya. Semua kerinduannya. Semua gabungan perasaan yang bermuara pada satu orang saja.

Udara berembus dari ventilasi sedikit menggelitik punggung tangannya; dan Reon berhenti meniup flute. Ia tak begitu menginginkan kehangatan, akan tetapi fisiknya membutuhkan itu kalau mau mengikuti pelajaran esok hari. Ia menjangkau meja terdekat dari jendela, duduk di bangku dengan bunyi derit pelan. Alat musik diletakannya di meja. Gadis itu mencabut tongkatnya, memanggil, "Accio lilin!" dan meraup lilin terbang dari udara. Memberikan setitik api dengan Lacarnum Inflamarae. Menaruh tongkat di samping flute, lalu merogoh sepucuk surat dari saku balik jubah.

Reon membacanya lagi, diterangi cahaya temaram dari lilin. Meresapi setiap kalimat dari orang itu. Memahat tiap huruf di nadinya--dia bilang aku sudah dimaafkan. Dia bilang dia juga menyesal sudah marah. Dia bilang sikap acuh tahun lalu hanya karena kecewa. Dia bilang perasaannya masih sama. Lalu kenapa kami tidak juga berbicara?

Tenggorokan gadis itu seperti tercekat, masih sulit baginya mengumbar emosi bahkan saat sebuah ruangan gelap menjadi satu-satunya saksi. Ia merentangkan kertas surat itu di meja, menetesinya dengan cairan lilin, lalu menempelkan bagian bawah lilin tersebut di permukaan surat sehingga bisa tegak tanpa dipegang. Reon terpaku menatap kobaran api. Termangu. Belum cukupkah rentang waktu lima puluh dua minggu? Masih adakah kobaran itu di mata kekasihnya sekarang?

Bibir merah mudanya membuka. Tak sanggup lagi menahan perasaannya untuk diri sendiri. Ia perlu membaginya, dengan meja-meja tua, dengan kertas surat kusut, dengan lilin, dengan api, dengan malam. Hanya saja bukan sekedar kata-kata berselimut histeria, melainkan baris-baris lagu dari suara jernihnya.

"There's a song that's inside of my soul
It's the one that I've tried to write over and over again
I'm awake in the infinite cold
But you sing to be over and over and over again...

So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray
To be only yours I know now...
You're my only hope..."

Suara emasnya memenuhi ruangan bercahaya sangat minim tersebut. Reon menghela napas, mengakhiri senandungnya. Ia sungguh-sungguh berdoa, terlepas dari entah kepada siapa, ia sudah berdoa. Namun sepertinya Tuhan dari keyakinan manapun takkan pernah mengabulkan satu-satunya permintaan yang tengah bergema dalam hatinya. Takdirnya telah ditentukan sejak lahir: menjadi gadis dingin antisosial, dan ia sudah menuruti garis takdir itu hingga bertemu Zod. Hingga pemuda itu menjungkirbalikan semua sifatnya, membuatnya mau berbicara dengan orang lain, membuatnya bersemangat menjalani hari-harinya. Jelas ia sudah melanggar takdirnya.

Tapi, bukankah ia sendiri satu-satunya individu yang berhak menentukan takdirnya? Dan jika ia ingin takdirnya berada sejalur dengan putra adam itu, terlalu sulitkah merealisasikannya? Haruskah ia kembali pada topeng tak pedulinya, egoismenya? Takdir macam apakah itu, yang menyeretnya menjauhi kebahagiaan?

Reon memejamkan mata, tangannya ditangkupkan di atas meja. Sebut saja ia, berdoa.

0 comments: